Program Jembatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sangat dirasakan oleh masyarakat di pedalaman Papua.(Foto: ist)
Program Jembatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan Cq Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sangat dirasakan oleh masyarakat di pedalaman Papua, Kalimantan dan Sulawesi, khususnya daerah-daerah yang secara geografis tidak dimungkinkan dijangkau oleh moda lain selain transportasi udara.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Polana B. Pramesti mengatakan bahwa jaringan rute perintis tahun 2019 adalah 190 rute penumpang, 39 rute kargo dari 19 koordinator wilayah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan khususnya untuk Papua dan Papua Barat memiliki 120 rute perintis.
“Tahun 2019 ini, rute angkutan udara perintis penumpang dan angkutan udara perintis kargo yang dikenal dengan jembatan udara terbesar dilayani di daerah Papua dan Papua Barat dengan harapan dapat mendukung penurunan disparitas harga pada daerah terpencil yang tidak dapat dilayani oleh moda lain,” jelas Polana melalui siaran pers Kepala Bagian Kerja Sama Internasional, Humas dan Umum Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Agustina Dani di Jakarta, Rabu 4/12).
Hal ini juga disampaikan oleh warga di Pegunungan Bintang, Papua, Yohanes F Kayarmabin. Pria berusia 35 tahun ini sehari-hari menjabat sebagai Direktur Gudang Penyimpanan Kargo Bersubdisi di Bandara Oksibil. Dia sangat antusias bercerita terkait dengan menurunnya harga-harga barang di wilayahnya.
“Turunnya bisa sampai dengan 50%, bahkan 70% untuk komoditi tertentu. Warga girang bukan kepalang luar biasa karena program Subsidi Kargo ini sangat membantu kami. Beras 25 kilogram yang semula harganya Rp 800 ribu rupiah kini bisa didapat dengan harga Rp 500 ribu. Begitu pun kebutuhan pokok lain seperti minyak, garam, gula, tepung terigu, daging sapi, daging ayam, kopi, mie instan, sampai ikan sarden, sabun mandi, dan pampers,” papar Yohanes
Itu semua terjadi berkat program jembatan udara yang diperintahkan Presiden Jokowi melalui Kementerian Perhubungan. Lewat program ini, kebutuhan pokok dari Tanah Merah ke Oksibil diangkut dengan biaya ditanggung negara.
Pegunungan Bintang atau Pegubin, misalnya. Kabupaten berpenduduk hampir 90 ribu jiwa ini 90 persen wilayahnya terletak di dataran tinggi pegunungan dengan ketinggian antara 400 sampai dengan 4.000 meter di atas permukaan laut.
Pegubin menjadi salah satu kabupaten di Papua yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, Papua Nugini. Kabupaten pemekaran dari Jayawijaya itu memiliki luas wilayah 14.655,36 km² yang terbagi menjadi 34 distrik -wilayah setingkat kecamatan- dengan Oksibil sebagai ibu kotanya.
Yohanes berharap, penerbangan yang membawa kargo bersubsidi bisa lebih ditingkatkan. “Pertama, harus dipastikan penerbangan yang setiap hari antara 3-5 kali berjalan lancar dan konsisten. Berikutnya, kami berharap frekuensi penerbangan itu bisa ditambah lagi,” paparnya.
Jembatan udara melalui penerbangan pesawat kargo bersubdisi membawa muatan 1.200 kg sekali jalan atau sekitar 8-10 ton barang setiap harinya. Jumlah ini dirasakan masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga Kota Oksibil dan distrik dan kampung sekitarnya, misalnya Distrik Oksepang, Okbape, Serambakon, serta Kampung Yapimakot dan Dabolding.
“Di wilayah Pegunungan Bintang ini total ada 76 lapangan terbang, selain Bandara Oksibil yang ada di ibu kota kabupaten,” ungkap Plt. Kepala Bandar Udara Oksibil, Agus Hadi.
Khusus Bandara Oksibil, setiap hari melayani 50 pergerakan pesawat, artinya ada 100 take off dan landing dari bandara ini menuju Tanah Merah di Boven Digoel maupun Sentani, Jayapura.
Beratnya medan ke wilayah pedalaman yang hanya bisa ditempuh melalui angkutan udara tak jarang membuat harga kebutuhan pokok di Kabupaten Pegunungan Bintang melambung. Harga BBM jenis premium pernah menembus Rp 150 ribu per liter, sementara dalam kondisi ‘normal’ rata-rata harga bensin mencapai Rp 45 ribu setiap liternya.
“Mahalnya harga bahan bangunan juga membuat biaya pembangunan rumah sangat tinggi. Hampir semua rumah terbuat dari kayu, karena harga semen dan material amat mahal. Membangun rumah dari batu di sini bisa membutuhkan biaya sekitar Rp 15 juta setiap meter perseginya,” papar Agus Hadi.
“Kami berterima kasih kepada Kementerian Perhubungan atas berjalannya program jembatan kargo. Kebijakan ini membuat disparitas antara harga kebutuhan pokok di kota dan Pegunungan Bintang bisa terpangkas,” kata Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pegunungan Bintang Alferus Sanuari.
Alferus berharap harga barang bisa ditekan lagi, yakni dengan adanya tol laut khusus yang melayani pengiriman barang untuk Pegunungan Bintang dan terkoneksi Jembatan Udara Kementerian Perhubungan.
“Jadi barang-barang dari Surabaya melalui Tol Laut ke Boven Digoel ada yang secara khusus diperuntukkan bagi warga Pegunungan Bintang. Dari situ, langsung dikirim ke Oksibil melalui program Subdisi Angkutan Udara Kargo Perintis,” ungkapnya.
Subsidi Kargo Perintis membuat warga Pegunungan Bintang tersenyum cerah. Secerah kebangaan atas produk unggulan ‘Kopi Oksibil’ serta potensi besar eksplorasi tambang di kabupaten yang didiami oleh Suku Ngalum ini. (Very)
0 komentar:
Posting Komentar