INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban
dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi,
kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau
dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin bergantian
oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang
Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi
dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung
oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi
semakin berkembang dan masyarakat banyak yang bertambah makmur. Bank
Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar
dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi
baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak
menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk
di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui
pemilu yang demokratis.
Namun, di sisi lain, kita
melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita
saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga
di ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Gejala
apa ini?
Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia bingung
menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan masyarakat justru
merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model keberhasilan
reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama
pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Izinkan saya
melalui tulisan singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan
permasalahan bangsa ini dan menawarkan paradigma baru untuk bersama
mengatasinya. Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk itu,
pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama
ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta. Oleh
karena itu, keterbatasan dalam pandangan ini mohon dimaklumi.
Sebatas kelembagaan
Reformasi
yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru
Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya
institusional. Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya
politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building). Agar
perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita
perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak
mungkin maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa
melakukan perombakan manusianya atau sifat mereka yang menjalankan
sistem ini. Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia
ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa
kesejahteraan. Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana
salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar
nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita
membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan
otonomi daerah. Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah
undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu
secara berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam
rangka perbaikan pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun,
di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan
berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang,
mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat
kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan
kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat
oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya
bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih
reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa
bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga
Indonesia harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF)
yang harus ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita. Terlepas dari
sepak terjang dan kerja keras KPK mengejar koruptor, praktik korupsi
sekarang masih berlangsung, malah ada gejala semakin luas.
Demikian
juga sifat intoleransi yang tumbuh subur di tengah kebebasan yang
dinikmati masyarakat. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat
malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk
cepat kaya sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran
hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor
kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke
arah cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa.
Apabila kita gagal melakukan perubahan dan memberantas praktik korupsi,
intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya secara instan, pelecehan
hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera
lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental
Dalam
pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip
paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai,
budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia
melakukan tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi
yang sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental
menciptakan paradigma, budaya politik, dan pendekatan nation building
baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja,
dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi”
tidak berlebihan. Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya
politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang
buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde
Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik karena
ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini tetap
memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri
seorang pemimpin—dan selayaknya setiap revolusi—diperlukan pengorbanan
oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental,
kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno
dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang
berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan
”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus terang kita
banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional
tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan
rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah ditegakkan
di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui
pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan
bukan bagi segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah
sistem politik yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan
intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu
sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang
dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut
pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak
ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita
juga memerlukan birokrasi yang bersih, andal, dan kapabel, yang
benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan
pemerintah yang terpilih. Demikian juga dengan penegakan hukum, yang
penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum. Tidak kalah pentingnya
dalam rangka penegakan kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan
terlatih untuk menjaga kesatuan dan integritas teritorial Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi,
Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari ketergantungan yang
mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar negeri dan juga
pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari impor.
Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar
telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing.
Sementara sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama
para ”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun
tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi.
Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk bahan makanan dan
kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi pemburu rente
sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan konsekuensi
terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan
alamnya masih mengandalkan impor pangan.
Indonesia
secara ekonomi seharusnya dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai
dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan
dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Indonesia harus segera
mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas dan terukur. Di
luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan ekspor
dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga
perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya
mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata
sebagian besar investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat
modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti
adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia. Sifat
ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi
dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir.
Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang
belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem
pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas bangsa
Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan
kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh
nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya
Indonesia.
Dari mana kita mulai
Kalau
bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental,
pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya
dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan
lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas
menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Revolusi
mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita bersama untuk
mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil,
dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan bangsa kita
sendiri dengan restu Allah SWT. Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah
nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri
mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin
Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sejumlah
teman yang sepaham juga sudah memulai gerakan ini di daerahnya
masing-masing. Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin meluas
sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang
diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai. Revolusi
Mental Indonesia baru saja dimulai.
JOKO WIDODO
0 komentar:
Posting Komentar