Umar Anggara Jenie, seorang
pemerhati masalah pangan, mengatakan bahwa Indonesia adalah lumbung
keanekaragaman hayati dunia yang tiap 10.000 kilometer persegi lahan di
Jawa terdapat 2000-3000 spesies tumbuhan. Potensi ini apabila dikelola
dengan baik, sebenarnya bisa mencukupi kebutuhan pangan penduduk dalam
negeri bahkan bisa untuk diekspor. Ketika kebutuhan akan pangan
terpenuhi, rakyat tidak akan teriak. Ekonomi akan kondusif. Wibawa
pemerintah pun ikut terjaga.
Salah satu langkah untuk menjaga
ketersediaan pangan adalah dengan melakukan diversifikasi
(penganekaragaman) jenis konsumsi karbohidrat pada masyarakat Indonesia.
Dalam pelaksanaannya diversifikasi pangan ini juga telah dijadikan
gerakan yang sangat serius dengan nama Gerakan One Day No Rice (Sehari
tanpa Nasi).
One Day No Rice (ODNR) adalah
gerakan sehari tanpa nasi yang implementasinya mengganti asupan
karbohidrat nasi berbahan beras dengan karbohidrat lain non-beras dan
non-terigu. Perlu diingat, gerakan ini bukan mengharamkan tapi
mensubstitusi nasi guna mendiversifikasi pangan. Intinya kita harus juga
peduli dengan belajar mengkonsumsi karbohidrat lain seperti
umbi-umbian, singkong, talas, gembili, dan yang sejenisnya.
Ketika gerakan ODNR mulai
didengungkan pertama kali di Kota Depok, ada kelompok di
masyarakat yang merasa tertantang dan berkewajiban memikirkan upaya,
strategi, dan implementasi yang harus dilakukan dan diterapkan agar
program ini bisa sukses dan memiliki dampak perekonomian bagi
masyarakat. Ini bisa kita sebut dengan kelompok kreatif atau “kreator
pangan” ODNR.
Kreator pangan ODNR inilah yang
turut menjadi penggerak program ketahanan pangan untuk menjadikan bangsa
ini sehat dengan turut membantu perkembangan perekonomian. Mereka
berkreasi ketika program diversifikasi makanan seperti program ODNR ini
digulirkan dengan melakukan upaya agar bisa berkreasi dengan memberikan
atau menyediakan bahan baku atau produk makanan alternatif yang sehat
dan nikmat.
Kelompok ini juga melihat
prospek untuk mendirikan pabrikasi bahan baku pangan non-beras dan
non-terigu guna mendukung program diversifikasi pangan tersebut. Selain
juga berkreasi dengan membuat makanan dengan konsep baru: makanan pokok
non-beras dan non-terigu dengan bermacam varian dan rasa yang tidak
kalah lezatnya. Kelompok ini juga bisa mendirikan foodcourt
atau minimarket yang menyediakan produk-produk olahan nonberas dan
nonterigu atau juga menyediakan bahan baku yang siap dimasak di rumah
dengan bahan baku karbohidrat lain seperti ubi jalar, ubi kayu, talas,
gembili, sorgum, pisang, uwi, jewawut, jagung, kacang tanah, atau juga
kacang hijau.
Beberapa upaya dari para kreator
ketahanan pangan tersebut telah sukses membangun kemandirian ekonomi di
daerahnya. Sebut saja upaya dari pabrik nasi jagung di Kecamatan
Kaliangkrik di Magelang, Banjarnegara, dan di Temanggung Jawa Tengah.
Pabrik beras cerdas di Jember Jawa Timur, pabrik tepung singkong (mocaf)
di Gunung Kidul Yogyakarta, pabrik tepung tapioka di Lampung, atau juga
pabrik nasi ampok di Kecamatan Purwoasri Kediri Jawa Timur.
Mereka berhasil membangun sebuah
kerjasama dengan para petani di desa dengan membeli komoditas
pertaniannya. Kemudian di pabrik, para kreator pangan ini mengolah dan
mengemasnya menjadi sebuah produk yang siap dikonsumsi. Terakhir,
masyarakat kota bisa ikut merasakan hasil olahannya. Simbiosis
mutualisme ekonomi yang makin mempererat hubungan antara desa dan kota
yang sekarang sudah mulai renggang.
Uang pun Mengalir dari Sektor ini…
Beberapa kreator pangan pun
mencoba membuat bahan makan pokok dari jagung dan singkong yang
permintaannya kini semakin banyak seiring dengan makin bergulirnya
gerakan ODNR yang sudah makin menyebar dan melesat ke sekujur nusantara.
Mereka berupaya keras untuk mendukung secara langsung dengan menyuplai
kebutuhan akan pangan lokal yang sehat dan murah.
“Saya tertarik mengembangkan
nasi berbahan dasar jagung sebagai sumber pangan alternatif. Kemudian
saya melihat dari sisi kesehatan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara dengan penderita diabetes yang cukup banyak. Saya berkreasi
menciptakan nasi jagung ini didedikasikan untuk para penderita diabetes
melitus. Karena orang yang mengonsumsi nasi jagung, umumnya memiliki
gula darah yang normal meskipun awalnya gula darahnya di atas normal,”
ungkap Suparyo (38 tahun), pemilik usaha nasi jagung di Magelang ini.
Hal yang sama juga disuarakan
oleh Muhammad (35 tahun) yang juga merasa bertanggung jawab terhadap
bangsa ini. Penyedia beras jagung asal Temanggung ini pun merasakan
bahwa dengan tersedianya bahan pangan lokal nonberas dan nonterigu yang
siap konsumsi tentu akan memudahkan masyarakat dalam mendiversifikasi
pola makannya. Masyarakat yang mindset-nya sudah terbentuk
dengan pentingnya penganekaragaman jenis pangan tersebut akan sangat
bersuka cita karena ia dengan mudah mendapatkan bahan pangan nonberas
dan nonterigu tadi di dekat rumahnya.
Sedangkan di kota besar, hasil produksi dari para
kreator pangan daerah tersebut kini sudah terhidang dengan lezat di
beberapa rumah makan skala besar. Masyarakat kota sudah merasakan olahan
makanan sehat tersebut. Manajer Operasional
Rumah Makan Minang “Simpang Raya” Depok, Ahmad Sugimansah (35 tahun) pun
menambahkan, nasi jagung telah disuguhkan sejak tiga minggu yang lalu
di sini. Peminat nasi jagung pun tiap hari bertambah. “Secara bisnis
menguntungkan, karena satu kilogram nasi jagung dapat menghasilkan 15
porsi, sedangkan nasi beras hanya delapan porsi. Sekarang sudah banyak
yang minta nasi jagung dibungkusin,” paparnya.
Dr. Ir. Nur Mahmudi Isma’il,
M.Sc. sebagai tokoh diversifikasi pangan nasional ini juga menyebutkan
bahwa semua pihak diuntungkan apabila mindset bangsa
ini sudah tidak terpatok bahwa bahan pangan itu hanya beras saja.
Dengan adanya sosialisasi secara terus-menerus tentang gerakan ODNR ini
tentu petani akan terus menggali potensi pangan lokal yang begitu
berlimpah. Hasil dari petani kemudian diolah oleh produsen kemudian
dibeli oleh masyarakat. Sebuah kemitraan alami yang bisa mengangkat
harkat hidup masyarakat desa.
Menjadi Konsumen Cerdas
Kemandirian ekonomi berbasis
ODNR ini diawali dari pemahaman kita untuk menjadi konsumen cerdas
yang pandai dalam memilah makanan yang sehat. Ketika tren untuk
mengonsumsi makanan pokok tersebut sudah bermacam variasi
karbohidratnya, sudah tentu akan menjadikan kita sehat dan produktif.
Pola ini akan menghasilkan kemitraan dan kerjasama dengan pihak-pihak
terkait. Diawali dari dukungan dari pemerintah kemudian melalui
institusi pendidikan seperti perguruan tinggi, rumah makan penyedia menu
nasi jagung, dilanjut dengan usaha kecil-menengah yang mulai
memproduksi serta memasarkan produk makanan pokok dari beraneka jenis
karbohidrat lokal.
Andai saja kita dalam sepekan
sekali saja mengganti nasi dengan nasi jagung, Indonesia dapat
menyediakan cadangan beras 4,8 juta ton setara dengan Rp35,4 T atau
terjadi perputaran ekonomi sebesar Rp70,8 T. Tentu hal ini akan
menguntungkan bagi ketahanan pangan kita. Negara yang kuat dalam hal
ekonomi, tentu akan menjadi lebih percaya diri dan tangguh dalam
menghadapi konstelasi politik dunia sesulit apa pun.
Akan tercipta peluang usaha baru
dari para kreator pangan. Tercipta lapangan kerja di sektor produksi
pangan di daerah-daerah di Indonesia. Orang desa tidak perlu harus
mencari penghidupan ke kota-kota besar. Inilah hasil dari kebangkitan
ekonomi dari celah yang dilakukan dengan mengubah pandangan bahwa
penganekaragaman pangan itu perlu. Makanan pokok sehari-hari kita tidak
harus nasi tapi bisa nasi dari jagung atau singkong.
Terakhir, maukah Anda lanjut
usia karena tubuh yang sehat? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan fakta
seperti yang ada di salah satu daerah di Pamekasan Madura yang usia
warganya di atas delapan puluh tahun bahkan di atas seratus tahun pun
ada. Ketika ditanya mengapa usia penduduk sana begitu panjang, karena
mereka sehat dengan pola konsumsi rutin makan nasi jagung dan nasi telo
(singkong) yang dilengkapi dengan sayur dan lauk pauk seperti biasa.
0 komentar:
Posting Komentar