Tipe para tentara KNIL dengan senjata 'jadul' mereka. Apakah di antaranya ada yang mantan Waffen-SS?
Di
antara tentara-tentara Belanda yang datang ke Indonesia dan memerangi
para pejuang kemerdekaan negara ini, ternyata sebagian di antaranya
adalah mantan veteran Waffen-SS yang notabene menjadi ‘pengkhianat’
negaranya sendiri dalam Perang Dunia II yang berlangsung hanya beberapa
tahun sebelumnya! Kebanyakan para prajurit yang telah banyak makan asam
garam pertempuran di Front Timur ini berasal dari Divisi Grenadier
Sukarelawan SS ke-34 ‘Landstorm Nederland’ (34.
SS-Freiwilligen-Grenadier-Division Landstorm Nederland).
Fakta
mengejutkan ini diungkapkan oleh mantan perwira intelijen Belanda Brine
van Houten, yang berkata bahwa pemerintah Belanda terpaksa mengambil
kebijakan ‘tidak populer’ tersebut karena memang saat itu sumber daya
manusia yang siap dalam segi milter sangat terbatas disebabkan banyaknya
yang telah tewas dalam perang, masih dalam penjara atau memang sudah
tidak mau lagi mengurusi mesiu. Dikatakannya bahwa sebanyak 548 orang
mantan Waffen-SS telah bertugas di Indonesia selama berlangsungnya
Perang Kemerdekaan (1945-1949). Sebagian dari mereka bergabung sebagai
bawahannya Raymond Westerling dan terlibat dalam pembantaian-pembantaian
brutal yang dilakukannya terhadap rakyat sipil selama bertugas di
Sulawesi. Sampai kematiannya, manusia durjana ini tidak pernah tersentuh
oleh tangan hukum!
Sebenarnya,
keterlibatan veteran Waffen-SS ini telah dipublikasikan untuk pertama
kalinya oleh C. Van Esterik dalam artikelnya di NRC Handelsblad yang
terbit pada tahun 1984. salah satu kutipannya berbunyi : “Salah satu
perputaran sejarah yang menjadi ironi, ketika sebagian tentara yang
bertugas di Indonesia demi membela tanah air mereka, hanya beberapa
waktu sebelumnya ikut pula memerangi tanah tumpah darah mereka sendiri
demi membela Adolf Hitler!” Seorang mantan perwira KNIL berkata bahwa
tentara mantan sukarelawan Nazi itu dipercaya lebih berdisiplin dan
tangguh dibandingkan dengan tentara Belanda biasa.
“Saya
bertugas sebagai seorang perwira KNIL dari Brigade Infanteri Pertama di
bawah Kolonel Thomson yang menjadi bagian dari Divisi ke-7 dan ikut
dalam aksi-aksi ‘polisionil’ di Hindia. Bisa dibilang, prajurit-prajurit
KNIL seperti kami adalah pasukan yang masih hijau dan belum pernah
bertempur di Hindia sebelumnya. Karena itulah kami membutuhkan bantuan
dari pasukan-pasukan mantan SS agar dapat menolong kami dalam
menjelajahi alam Hindia yang masih asing.”
Sodara-sodara,
keterangan selanjutnya dari si perwira KNIL ini benar-benar mengejutkan
saya, karena dia bercerita bahwa dia pernah bertempur di Sukabumi (my
beloved homeland), tepatnya di Cibadak! Kemungkinan besar peristiwa
inilah yang kemudian terkenal sebagai Pertempuran Bojong Kokosan.
Bayangkan, ada SS di Sukabumi! Mau makan mochi, Meneer? Inilah
kutipannya :
“Dalam
suatu aksi pertempuran, pasukan kami diturunkan ke Sukabumi di dekat
Tjibadak dan mendapat perlawanan seru dari para ‘pemberontak’ (saya
kutipkan seadanya apa yang dia katakan, termasuk yang menyakitkan hati
sekalipun!). kami sendiri berada di bawah komando Baron Taets van
Amerongen.”
“Suatu
hari saya melihat salah seorang prajurit dari kompi kami yang sedang
berolahraga pagi dengan hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang
dada. Saya terkejut begitu melihat bahwa di bawah ketiaknya terdapat
bekas jahitan luka yang sangat kasar seakan-akan dilakukan oleh orang
yang tidak berpengalaman atau dalam keadaan terburu-buru. Jahitannya
jarang-jarang, dan menimbulkan kesan mengerikan pada siapapun yang
melihatnya.”
“Saya
lalu bertanya pada si prajurit tersebut akan ‘luka’ yang dideritanya.
Saya terkejut begitu tahu bahwa itu bukanlah luka yang didapatnya dari
peperangan, melainkan akibat dari pengelupasan kulit secara sengaja
dengan menggunakan pisau tajam! Tentu saja saya bertanya apa alasannya?
Dia berkata bahwa dalam lapisan kulit tersebut telah tertera sebuah tato
yang dia tidak ingin orang lain ada yang mengetahui atau melihatnya.
Tato apakah itu? Tato yang sama yang disematkan pada setiap anggota
Waffen-SS, yang menunjukkan dari mana dia berasal.”
“Saya
tertegun. Saat itu hal tersebut adalah sesuatu yang benar-benar baru
bagi saya, orang awam yang tidak mengerti politik. Yang saya tahu,
orang-orang ini (warga negara Belanda yang menjadi sukarelawan Nazi)
adalah orang-orang ‘hina’ yang telah memerangi kawan sebangsanya demi
memenuhi keinginan bangsa asing, dan kini mereka berada dalam satu
kesatuan dengan saya!”
Setiap
anggota dari Waffen-SS memang berbeda dengan kesatuan Jerman lainnya
dalam hal masing-masing mereka mendapat ‘cenderamata’ tato yang
diletakkan di bawah ketiak, tato yang menerangkan golongan darah mereka.
Gunanya adalah dalam waktu pertempuran dan mereka terluka, maka akan
mudahlah bagi tim medis untuk memberikan transfusi darah yang diperlukan
dengan hanya menyingkapkan ketiaknya dan mendapati golongan darah si
prajurit tersebut tertera disana.
“Ketika
saya tanyakan bagaimana dengan teman-teman dia lainnya yang juga
merupakan veteran Waffen-SS yang direkrut ulang oleh Belanda, dia
menjawab bahwa dia tidak tahu mengenai hal itu, karena mereka
dipisah-pisahkan dalam unit lain. Ada yang tetap bertugas di Belanda,
dan ada juga yang dikirim ke Indonesia.”
“Saya
adalah keturunan Yahudi Belanda dan beberapa anggota keluarga saya
telah ‘musnah’ di kamp konsentrasi Jerman. Kini saya memerangi orang
Indonesia dengan dibantu oleh tentara-tentara yang pernah mengabdi pada
Hitler! Apapun alasannya, saya tetap tidak bisa menerimanya. Saya
langsung melaporkan hal tersebut ke atasan saya, Taets van Amerongen.”
“Ketika
saya menceritakan kepadanya apa yang saya ketahui, tak disangka dia
langsung begitu marahnya. ‘Kau tak punya hak apapun dalam hal ini!’
semprotnya, dan dia langsung menutup pintu. Aku tak menyerah, dan tetap
melaporkan hal yang sama pada seorang sersan dari kesatuan Polisi
Militer yang kebetulan lewat. Dia sama terkejutnya denganku, dan
berjanji akan menceritakan hal ini pada staffnya yang berada di
Buitenzorg (Bogor). Sekitar dua minggu kemudian datanglah seorang kapten
dari Polisi Militer dan menyuruhku menghadap.”
“Dia
berkata bahwa dia telah menyelidiki apa-apa yang telah kukatakan
sebelumnya kepada si Sersan, dan mendapati bahwa hal itu adalah benar
adanya. ‘Tapi kita tidak dapat melakukan apa-apa dalam soal ini,’
katanya. Karena semuanya telah diatur oleh pemerintahan Belanda di Den
haag dan merupakan kebijakan resmi yang sengaja ditutup-tutupi demi
menjaga jangan sampai ada gejolak dalam masyarakat.”
Dari artikel Esterik juga disampaikan sebuah memoranda dari sumber anonim :
“Pengambil
keputusan tidak populer ini beralasan bahwa sesungguhnya kemampuan para
mantan Waffen-SS ini akan lebih berguna bila diberdayakan kembali
daripada menumpulkannya dengan cara memasukkan mereka ke dalam tahanan
sampai berkarat. Ketika ditawari pilihan tersebut, kebanyakan para
mantan Waffen-SS ini pun bersedia untuk mendarmabaktikan kemampuannya
yang berharga demi tanah air Belanda tercinta. Mereka beralibi bahwa
mereka masih tetap mencintai negaranya, dan tindakannya di masa lalu
yang membela musuh negaranya semata karena kecintaan mereka pada agama
kristen yang membuat mereka memerangi komunis Rusia. Cara satu-satunya
adalah dengan bergabung dengan SS Nazi. Inilah saat yang tepat untuk
merehabilitasi mereka dan memberi kesempatan untuk menebus
kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan. Cukup berikan senjata,
latih secukupnya selama beberapa minggu dalam penggunaan senjata-senjata
bekas Sekutu, dan kirimkan mereka untuk bertempur di Hindia Belanda.
Perekrutan dilakukan secara sukarela, dan kita boleh berharap antara
15.000 sampai dengan 30.000 para prajurit terlatih dan berpengalaman
dari SS ini yang mendaftar untuk bergabung dengan tujuan kita. Sebagian
besar dari mereka akan berperan sebagai pasukan pelopor/serbu, sesuai
dengan fungsi mereka di masa lalu.”
Dari
‘nada suara’ memoranda tersebut, bisa terlihat bahwa yang menulisnya
adalah orang dalam sendiri yang tahu persis mengenai kebijakan yang
diambil pemerintah Belanda, atau bahkan mungkin yang menjadi
pencetusnya. Seorang mantan perwira intelijen Brine Wood malah yakin
bahwa pihak yang berinisiatif untuk memakai jasa para mantan pasukan
sukarelawan SS untuk bertempur di Indonesia adalah Gereja Katolik Roma!
Kenyataannya tak akan pernah kita ketahui (setidaknya sampai saat ini),
karena pengarang memoranda tersebut tetap meminta namanya untuk
disamarkan.
Dalam artikelnya yang menggemparkan tersebut, Esterik menyimpulkan, yang diambil dari hasil observasinya selama ini :
“Tak
ada satupun dari dokumen-dokumen yang kini telah menjadi arsip negara
ini yang menyebutkan siapa penggagas kebijakan untuk menggunakan jasa
militer para mantan Waffen-SS, bahkan tak secuilpun indikasi yang
mengarah kesana. Yang jelas, siapapun pencetusnya maka dia pastilah
orang yang mempunyai kuasa yang cukup besar sehingga mampu meloloskan
kebijakan rehabilitasi para tahanan politik kontroversial ini dengan
diam-diam setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Angkatan
Bersenjata Belanda. Hanya sebatas inilah yang saya ketahui, sedangkan
siapa dia, kapan dikeluarkannya, dalam level apa kebijakan ini keluar,
masih berada dalam kabut gelap yang tak satupun yang mengetahuinya, atau
diizinkan untuk mengetahuinya.”
Sampai hari ini, salah satu lembaran hitam sejarah Belanda ini masih tertutup selimut misteri yang tak terungkap...
Sumber : http://alifrafikkhan.blogspot.com/2010/01/ratusan-orang-tentara-belanda-yang.html
0 komentar:
Posting Komentar